Powered by Blogger.
RSS

Potret Musik Indonesia Masa Kini

Aku bukanlah seorang pengamat musik, juga bukanlah seorang pemain musik atau seorang penyanyi yang mampu menghibur banyak orang. Posisiku hanyalah sebagai seorang penikmat musik. Aku adalah objek dari musik yang seketika bisa bertindak sebagai subjek yang menilai. Musik tidak dibuat untuk musik itu sendiri bukan? Keberadaan penikmatlah yang membuat musik itu ada secara objektif. Lalu, berbicara masalah objektif kita kembali terbentur masalah zaman. Namun, jangan lupakan bahwa persoalan kualitas itu juga mempersoalkan masalah "ketahanan", "keberlangsungan", dan "citra" yang tebangun.


Sehari yang lalu aku menyaksikan sebuah acara musik di salah satu stasiun televisi. Sebenarnya secara tidak sengaja sih. Saat di rumah makan masakan Padang, kebetulan televisi di sana menyetel channel yang menyiarkan acara musik siang. Sekitar dua menit aku menikmati acara musik itu, yang tampil adalah band Kotak. Band yang digawangi Tantri cs itu selesai tampil. Jreng jreng, tiba-tiba musik berubah ceria, tak berapa lama kemudian 6 pria--aku terkadang ragu menyebut mereka pria--dengan pakaian warna "ngejreng" masuk panggung dan membentuk formasi yang menurut trend sekarang disebut "unyu-unyu". Aku juga tak mengerti maksud unyu-unyu itu, menurut pengamatanku jika cewe-cewe berteriak dengan mata berbinar, itu tandanya sedang terjadi momen tersebut.

Aku membatin, "halah ini mesti boyband yang pasang tampang doang!". Aku kembali khusyuk makan. Sial, televisi itu berbanding lurus dengan mata, aku akhirnya melihat kejanggalan. Wajah beberapa personilnya tak se-unyu yang kumaksudkan di atas. Dan, semakin di close up wajah personilnya aku mengingat sesuatu. "Sepertinya itu asistennya Uya Kuya sama anaknya deh!". Aku menajamkan pengamatanku. Ternyata benar. Dua orang personilnya adalah orang yang kupikirkan tadi. Lalu aku membatin lagi, "Sejak kapan jadi penyanyi?". Gampang sekali ditebak, mereka sedang lip sing. Rambut mereka dibuat a la Korea untuk "memaksa" keunyuan. Aku lanjut membatin, "Kaya begini masuk televisi nasional? ckck musik kita udah asal do re mi saja nih!"

Ini bukan masalah antiKorea atau boyband yang marak sekarang. Tapi ini masalah martabat musik Indonesia. Kita tahu bukan? Sebelum masa-masa ini, untuk menembus ke televisi nasional seorang penyanyi atau grup band harus "berdarah-darah" memperjuangkan bakat yang mereka miliki. Aku bukan pula menyebut mereka tidak berjuang dari awal! Bukan. Tapi, sejelek-jelek kualitas kuping, pasti tahu kalau suara mereka itu tidak bagus dan betapa lip sing itu menipu. Kuulangi sekali lagi. Menipu. Siapa pun bisa berlenggak-lenggok di atas panggung, joget sedikit, lalu tinggal mengkomatkamitkan mulut dengan mic yang off.

Aku ingat beberapa tahun belakangan ketika sebuah acara musik bernama Dahsyat baru muncul. Jika sedang libur sekolah aku selalu menonton acara tersebut. Efeknya, aku sangat cinta sama produk musik anak negeri. Lalu apa yang ada pada musik pada masa itu? Aku mengenal Peterpan, Dewa, Padi, Gigi, Slank, dan band-band baru muncul lainnya dengan kualitas yang "lumayanlah". Aku pun mengetahui betapa musik Indonesia waktu itu menguasai pasaran musik di Malaysia. Di Riau, untuk menangkap sinyal radio dari Malaysia itu sangat mudah. Apa yang kami dengar? Lagu dari Indonesia, bahkan ada sebuah acara yang khusus menampilkan lagu-lagu Indonesia. Band yang kusebutkan di atas, jadi primadona di sana.

Puncak kebanggaanku adalah ketika aku mendengar sebuah berita lewat radio kalau Pemerintah Kerajaan Malaysia marah besar dan menetapkan sebuah aturan pembatasan peredaran musik asing. Mudah ditebak, pihak Malaysia jelas gusar dengan lagu-lagu Indonesia yang lebih dicintai ketimbang musik mereka sendiri. Alhasil, peraturan itu berbunyi, peredaran musik asing hanya boleh 10% dan 90% adalah lagu-lagu karya Malaysia. Tapi apa yang terjadi? Radio-radio di sana tetap menyiarkan lagu-lagu Indonesia.

Aku sungguh menantikan penampilan-penampilan band yang kusebutkan di atas. Tidak hanya kualitas musikalitas yang bagus. Kata-kata mereka tidak "sampah", berkualitas dan maknanya tidak hanya, "Aku cinta kamu", "Aku tak bisa hidup tanpamu!". Aku bahkan tak mengenal begitu banyak band dari luar negeri, paling lagu-lagunya Westlife yang ditularkan oleh kakak. Aku merasa lagu Indonesia layak untuk dibanggakan. Dan, aku benar-benar bangga menyanyikannya waktu iu.

Tapi, aku sekarang seperti kehilangan jejak itu. Setelah Dewa vakum, Peterpan terkena masalah, Padi jarang tampil, dan Gigi pun terbilang jarang. Aku tak punya idola sama sekali, sama sekali! Aku bahkan sudah lama sekali tak pernah kepingin nonton acara musik yang dulu kugandrungi, paling hanya papasan ketika duduk di depan televisi. Itu pun yang kulihat bukan penampil di acara tersebut, tapi Olga yang bisa membuatku tertawa.

Efek Industrialisasi Berlebihan

Fakta di atas tak bisa kita lepaskan dari industrialisasi besar-besaran oleh media. Saat ini, untuk tampil di sebuah stasiun televisi, yang jadi soal bukanlah masalah bakat seseorang. Tapi "apakah ia bernilai jual?". Nilai jual di sini artinya banyak. Pertama, permasalahan kemasan (tampang). Kedua, seberapa besar ia mampu membuat sensasi yang mengundang perhatian banyak orang. Ketiga, kontroversi.

Kualitas? Itu soal yang tak terlalu signifikan. Perhitungan media yang "menjual" ketiga karakteristik tersebut adalah seberapa besar "penarikan minat pemirsa". Akhirnya kita kembali berurusan dengan kapitalisme media, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan unsur-unsur "kelayakan" yang selama ini dipatuhi.

Apakah Shiren Sungkar bisa disebut sebagai seorang penyanyi berkualitas? Kurasa tidak. Lalu kenapa ia bisa tembus ke media? Jawabannya karena ia memiliki tampang, sudah punya penggemar, dan sesekali keluar dengan isu hangat. Tahu sendiri bukan kalau suara rekaman itu bisa menipu? Suara jelek pun bisa diperindah di sana. Lalu, itu sudah cukup menjadi modal. Selanjutnya kan lip sing.

Kaum Muda yang Tersedot Trend

Alasan lain kenapa mekanisme pasar musik seperti di atas mudah sekali diterapkan di negeri kita ini, tak lain tak bukan adalah "mabuk trend" kalangan muda kita. Pandangan mereka, apa yang trending di televisi adalah sesuatu yang wajib mereka ikuti. Kalau tidak, "Ah, lo gak gaul cuy!".

Pasar tidak akan bisa berbuat banyak jika penonton, khususnya kalangan muda cerdas dalam menilai objek bergerak mau pun nongerak yang dipampangkan ke hadapan mereka. Pasar akan mati kutu karena strategi mereka tak berjalan dengan baik.

Sayangnya kalangan muda kita sangat mudah "mabuk trend" yang berubah setiap bulannya. duh.


Aku rindu dengan musik Indonesia yang berkualitas. Aku rindu dengan musik Indonesia yang dicintai sampai ke luar negeri. Aku rindu musik Indonesia yang bermartabat. Aku rindu hapal banyak lagu-lagu Indonesia seperti dulu lagi.


Kau?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment