Apa yang membuat Anda membeli sebuah karya musik?
Saya yakin salah satu pertimbangannya adalah harga. Nah, saya pernah ngobrol dengan beberapa orang tentang masalah ini. Jawabannya menarik sekali dan menjadi tantangan besar dunia musik dalam negeri.
Jika kita masuk ke toko kaset dan CD, kita akan
menemukan harga yang berbeda-beda. Cakram digital pemusik lokal saat ini
berkisar pada harga Rp 25.000 hingga yang menengah atas sekitar Rp
75.000—beberapa bahkan ada yang mencapai Rp 100.000!
Dalam satu album yang biasanya berisikan sekitar 10
lagu, dengan harga sebuah CD Rp 75.000 berarti rata-rata per lagunya
adalah Rp 7.500. Buat beberapa orang mungkin ini harga yang tak murah.
Namun banyak juga yang menjual lebih rendah, misalnya band-band baru
yang tidak dinaungi label besar. Untuk informasi,
rerata harga satu lagu Indonesia di sebuah layanan jual beli musik
digital adalah berkisar dari Rp 2.000 hingga Rp 9.000.
Saya lalu bertanya ke seorang teman yang ngeband,
bagaimana mereka mengelola bisnis ini dari album pertamanya. Ternyata
mereka mencetak albumnya terbatas, hanya 500 keping dan dengan modal
sendiri pula! Setelah ongkos produksi semuanya dihitung, didapatlah
angka Rp 25.000 untuk menebus sekeping karya musiknya. Terjual habis.
Hasil akhirnya katanya untung. Syukurlah.
Saya tak sempat bertanya apakah ongkos produksi itu
sudah termasuk jerih payah kreativitas pembuatan musik. Jika tidak,
berarti karyanya dihargai murah sekali.
Saat ini album keduanya sedang beredar di pasaran dengan
jumlah yang lebih besar dan distribusi yang lebih ciamik. Bandnya
ditanggap oleh label yang cukup hebat, jadi tak perlu gerilya sana-sini
lagi dan repot-repot berjualan.
Sementara dalam perhitungan label besar, harga dasar
satu keping CD musik ternyata ada rumusnya (harga retail dikalikan
dengan selisih persentase diskon yang ditentukan distributor atau
label). Namun karena angka diskon dan embel-embel lain bisa bervariasi,
akhirnya muncul perbedaan pada angka final.
Lalu saya bertanya lagi apa yang menyebabkan kenaikan
harga karya musik akhir-akhir ini. Beberapa menjawab karena ongkos
produksi juga naik. Beberapa ngos-ngosan di harga Rp 25.000 hingga Rp 35.000, berharap dengan untung tipis tapi penjualan tetap lancar.
Saya jadi teringat salah satu band lain yang meluncurkan
album terbarunya di medio tahun ini. CD-nya dijual Rp 25.000 dan berisi
10 lagu. Dengan struktur royalti saat ini dan jumlah yang dijual
terbatas, saya bisa bayangkan pendapatan mereka, apalagi jika hanya
bergantung pada musik.
Namun seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, masih
banyak yang menganggap kisaran tersebut mahal. Harga sepertinya
berpengaruh besar juga pada pembajakan, walau mungkin bukan faktor
utama.
Fakta inilah yang membuat album fisik tak lagi punya
taring, apalagi jika dibandingkan dengan penetrasi digital. Dalam waktu
dekat mungkin kita tak akan membeli album penuh lagi—seperti yang sudah
mulai saya pikirkan saat ini (dan sudah ada beberapa layanan untuk
membeli musik digital).
Banyak band bagus bermunculan dan bisa bertahan—namun
tidak dari penjualan album fisik. Bayaran untuk penampilan di panggung
menjadi sumber utama—dan penjualanmerchandise jadi tambahan.
Beberapa dari mereka mulai merambah ke proses digital, walaupun masih
dalam proses “cek ombak” karena kebanyakan masih memberi secara gratis.
Beberapa memperbaiki manajemen dan penguatan hubungan via media sosial.
Perubahan memang telah dimulai.
Tak jauh di masa depan, mungkin penjualan album fisik akan semakin terbatas dan hanya dibeli oleh para kolektor saja.
0 comments:
Post a Comment